Bersyukur Benang Merah Kehidupan

Bersyukur Benang Merah Kehidupan

ILUSTRASI Cerpen Benang Merah Kehidupan (FOTO : Pixbay.com)

Malam yang sama aku berhadapan dengan cermin panjang yang terpasang kokoh di samping tempat tidurku. Letaknya terlihat tidak tertata, tapi itu adalah buatan ayahku. Aku memandangi refleksi diri dari cermin yang sangat jelas. “Huh,” kataku seraya menghela nafas dengan kasar.

“Hey anak gadis papah, yang cantik!” sapa Papah yang masuk ke kamar karena pintunya yang tidak terkunci. Raut wajahnya berseri-seri menghampiriku. Semenjak ibu meninggal karena kecelakaan, papah menjadi satu-satunya dan segalanya buat aku. “Papah” jawabku sembari menghampirinya yang duduk di bed tidurku.

Aku merangkulnya dan terasa hangat tangan papah yang mendekapku erat dalam dadanya yang bidang. Tapi entah kenapa air mataku mengalir begitu derasnya tanpa memberi aba-aba seolah seperti bendungan yang tiba-tiba pecah.

“Anak papah, kenapa? Ada masalah di sekolah?” tanyanya dengan nada khawatir. Papah mungkin sangat jarang melihat aku menangis, walaupun sebenarnya aku banyak menyimpan hal pahit sendiri, karena takut akan membebani pikirannya. Aku pun tak tahu harus menjawab dengan bagaimana, karena masalahnya pun aku tidak tahu. Dengan tersendu-sendu aku berkata, “pah kenapa hidup kita seburuk ini, kenapa kita tidak punya banyak waktu bersama mamah? Kenapa dunia ini tidak adil ya Pah?” dengan lembut ayah memangkat wajahku dan mengusap pipiku yang sedari tadi berlinang air mata. “apa ada yang mengganggu kamu atau mengolok olok kamu di sekolah?” tanyanya dengan mata berbinar dengan kekhawatiran yang jelas di tergambar di wajahnya. Lalu aku menggeleng “Tidak pah, aku rindu mamah pah, hari ini ulang tahun mamah kan” kataku dengan suara parau dan isak tangis. Papah semakin mendekap ku erat dalam pelukannya dengan kebisuaanya.

Kecelakaan yang menimpa mamah menggores luka yang dalam di hatiku. kepergian mamah di saat saat genting hidupku masih terngiang dan belum kunjung terobati.  Bila  kala melihat orang lain yang hidup bahagia dengan keluarga yang lengkap, aku merasa sangat menderita. Ingin rasanya marah kepada Tuhan, dan bertanya mengapa mengambil mamah begitu cepat dan tidak mempertimbangkan perasaanku dan juga papah. Malam-malam terasa sunyi, hari-hari terasa berat tanpa kehadiran mamah, walaupun sudah hampir dua tahun kepergiannya.

Pagi yang cerah, silau mentari menembus gorden tipis seolah menyuruhku untuk bangun. Minggu pagi yang indah rasanya aku masih ingin berlama-lama di dalam selimutku. Namun tidak lama ketukan pintu dari luar kamarku terdengar, “nak sudah bangun? cepat ya papah mau ngajak kamu keluar jalan-jalan” ucap seorang pria yang pastinya itu adalah papah.

“Kita akan ke mana pah?” tanyaku saat akan masuk mobil. “Jalan-jalan aja” jawabnya dengan bersemangat sembari masuk mobil sedan yang terparkir di garasi rumah.  Kami berangkat melewati jalanan yang lancar, mungkin karena hari minggu jadi jalanan tidak seramai biasanya. Setelah sekitar satu jam naik mobil kami masuk ke sebuah rumah yang terbilang besar dan sederhana. Di sana udaranya sangat asri tidak seperti di kota yang sudah dipenuhi oleh polusi setiap harinya. Ayah menggenggam tanganku dan kami masuk ke rumah tersebut, terpampang di pintu masuk pamflet yang terbuat dari besi yang sudah berkarat bertuliskan “Panti Asuhan Bunda Kasih.”

Seorang ibu paruh baya datang menghampiri kami, dan memulai percakapan dengan papah. Mereka terlihat akrab seperti teman lama yang akhirnya bertemu Kembali. Kemudian pandanganku dialihkan oleh penampakan anak-anak kecil mulai dari umur belasan tahun sampai hanya beberapa bulan. “ Duduk nak” kata ibu tadi seraya menyodorkan sebuah kursi plastik ke hadapanku.

“Ini siapa namanya ibu?” tanyaku kepada ibu yang  sedari tadi menggendong bayi kecil. “Kami memberinya nama Farah, dia ditemukan oleh warga yang buang oleh orang tuanya di kali dekat jalan raya yang kalian lewati tadi” jawabnya sembari mengelus elus kepala anak tersebut. Sontak aku terdiam, ayah juga memberi reaksi yang sama kagetnya dengan aku mendengar hal tersebut. “Anak-anak di sini banyak juga  yang bernasib sama, ada juga yang sengaja ditinggalkan orang tuanya di depan halaman ada yang dititipkan oleh orang tuanya di sini karena masalah ekonomi” tutur ibu pemilik panti asuhan tersebut. Setelah lama berbincang, ayah menyalam ibu tersebut dengan amplop putih, kemudian kami pamit untuk pulang.

 “Kita mampir ke satu tempat lagi ya nak” kata papah di tengah perjalanan. “ke mana pah? tanyaku tidak tahu. “nanti kamu juga akan tahu” ucap papah. Setelah lima belas menit kami sampai di depan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Aku melihat banyak anak-anak penyandang distabilitas yang bermain di lapangan. “Papah kenapa kita kesini?” Tanyaku dalam mobil. “Lihat mereka, coba kamu pandangi satu persatu” kata papah yang sedari tadi memandangi mereka. Aku memandangi mereka yang sedang asyik bermain, bertingkah kocak, tertawa ada juga yang menangis tak karuan. Ada yang memiliki penglihatan tidak normal, cara berbicara yang terbata-bata, cara berjalan yang berbeda dengan orang normal lainya.

Lama terdiam bersama papah di dalam mobil, dengan pemandangan asing yang menghanyutkan kami ke dalam suasana hati masing-masing. Sepertinya aku mengerti kenapa papah mengajakku ke panti asuhan dan sekolah SLB ini. Aku ingat kejadian tadi malam, aku merasa malu dengan orang yang aku temui hari ini. Aku masih memandangi mereka dan air mataku perlahan mengalir membasahi wajahku. Aku memeluk papah yang merentangkan tangannya buatku, ayah selalu mengajariku dengan cara yang istimewa. “Sekarang kamu bisa puas menangis nak, tapi setelah ini jangan lagi” kata papah. Aku pun mengangguk dengan masih terisak mengingat kekonyolan yang aku lakukan. Hidup yang aku jalani sekarang pun adalah berkat, bisa hidup bersama papah walau hanya berdua tinggal di tempat yang nyaman dan berkecukupan. Ternyata melihat ke bawah itu menyadarkanku akan pentingnya bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang. Karena bisa jadi banyak orang di luar sana yang memimpikan hidup seperti yang kita jalani sekarang. 

(Happy Simamora)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *