Cemara Natal

Cemara Natal

ILUSTRASI Cemara Natal. (FOTO: PNGTREE)

LONCENG sekolah sudah berbunyi panjang. Itu artinya pelajaran sekolah untuk hari ini telah usai. Dan mulai besok, sekolah Dea akan libur menyambut Natal. Ya, seminggu lagi Natal akan tiba. Sebagaimana yang sudah direncanakan Dea, untuk mengisi liburannya, Dea bersama teman-temannya sesama anggota pencinta alam yakni Nanda, Heni, Dino, Rika, Tito dan Andi akan pergi berkemah di hutan di desa seberang selama tiga hari. Kegiatan ini bukan yang pertama sekali mereka lakukan, pada saat libur Natal tahun lalu, Dea dan teman-temannya juga pergi berkemah.

“Semuanya sudah oke ya. Kita sudah sepakat berangkat besok sore. Lalu, kita kumpulnya di mana?” tanya Nanda.

“Di sekolah saja, Nanda. Kalau dari sini, angkutan yang menuju ke tempat berkemah kan banyak,” saran Dea.

Nanda dan teman-temannya yang lain saling berpandangan dan kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju. “Oke, sampai jumpa besok ya,” ujar Nanda sambil memasangkan ranselnya di punggungnya.

Tak lama kemudian dia melangkah keluar kelas. Tak lama berselang setelah kepergian Nanda, teman-teman yang lain juga membereskan perlengkapan belajar mereka dan meninggalkan sekolah.

* * *

DEA membuka pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Pakaian sekolahnya yang sedikit basah karena terkena hujan saat pulang sekolah membuatnya ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya, ganti baju dan kemudian makan siang. Dea melangkah ke ruang makan, begitu mendengar ibunya memanggil dirinya.

“Ibu ada buatkan bandrek untukmu, minumlah dulu, biar badanmu lebih hangat,” kata ibu sambil menyodorkan segelas bandrek.

Dea menerima bandrek tersebut dan meminum setengahnya. “Makasih bu, Dea mau makan dulu, sudah lapar,”

Ibu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ibu kemudian membantu Dea menyiapkan makan siang. “Kamu makanlah dulu, ibu masih kenyang,”

Sesendok demi sesendok, Dea menyantap makan siangnya. Cuaca yang dingin dan perut lapar membuat makan siangnya terasa begitu lahap.

“Kamu jadi berangkat berkemahnya besok sore?” tanya ibu.

“Jadi, bu. Lokasinya masih yang kemarin. Pulangnya lusa,” jawab Dea.

“Ya sudah, hati-hati ya Dea. Kalau begitu kamu masih bisa kan membantu ibu memasang hiasan Natal di ruang tamu kan,”

Dea menggaggukkan kepalanya dan tersenyum.

Setelah istirahat sebentar, Dea dan ibunya melangkah ke ruang tamau. Di ruang tamu sudah ada dua kotak kardus kecil yang berisikan hiasan Natal seperti patung Yesus kecil, boneka Santa Klaus dan ucapan salam Natal.

Dea mengambil ucapan salam Natal dan kemudian menempelkan di pintu masuk rumah. Selanjutnya, patung Yesus kecil diletakkannya di meja keil yang ada di sudut ruang tamu rumah.

“Tinggal boneka Santa Klaus ini yang belum terpasang. Harusnya kita pasang di dekat pohon Natal. Tetapi sampai sekarang kita nggak punya pohon Natal,” ujar Dea sedikit mengeluh.

Ibu yang mendengar ucapan Dea barusan hanya tersenyum. “Meskipun tanpa pohon Natal, kita sekeluarga kan tetap  merayakan Natal, Dea. Meskipun tidak ada pohon Natal, hiasan yang ada sekarang ini kan sudah lebih dari cukup,”

“Iya bu, tapi kalau ada pohon Natal kan lebih indah lagi. Lampunya yang berwarna warni pasti membuat ruangan ini semakin menarik,”

Ibu kembali tersenyum dan tidak menjawab. Selanjutnya ibu meletakkan sebuah wadah lilin di atas meja kecil. Ada lima buah lobang tempat lilin yang tersedia. Ibu kemudian memasukkan lima buah lilin ke dalam lobang tersebut. Setelah itu, ibu mengambil boneka Santa Klaus yang sedari tadi masih dipegang Dead an menempatkannya di samping wadah lilin itu.

Ibu memandang Dea. Tak lama kemudian ibu tersenyum. “Apa yang ada sekarang harus kita syukuri. Kalau sampai saat ini hanya wadah lilin ini sebagai pengganti pohon Natal, ya harus kita syukuri juga,”

Dea terdiam beberapa saat dan akhirnya tersenyum.

* * *

HARI ini hari ketiga atau hari terakhir Dea dan teman-temannya berkemah. Dan nanti sore mereka akan kembali ke rumah. Dea dan Heni sedang tidur-tiduran di tenda. Sedangkan Nanda, Dino, Rika, Tito dan Andi sedang mandi-mandi di sungai kecil yang terletak di samping tenda mereka.

Bosan tidur-tiduran di tenda, Dea mengajak Heni jalan-jalan ke tepi hutan. Ketika melihat lokasi yang indah, mereka pun mengambil foto. Tak terasa, mereka akhirnya sampai di tepi hutan.

Ketika sedang asyik-asyiknya berjalan, mereka berdua dikejutkan dengan sebuah erangan kesakitan dari sebuah rumah. Dea dan Heni berpandangan sesaat dan selanjutnya berlari menuju ke arah suara. Sesampainya di sana, mereka melihat seorang bapak paruh baya yang tergeletak di halaman rumah. Telapak tangan kanannya berdarah.

Dengan langkah cekatan, Dea dan Heni memapah bapak tersebut ke teras rumah. Dea dan Heni mengeluarkan kotak P3K dari ransel mereka dan kemudian mengobati luka bapak tersebut.

“Terima kasih, nak. Kalau tidak ada kalian, lukanya pasti makin parah. Bapak tadi sedang memotong pohon cemara itu. Maksudnya mau bapak jadikan pohon Natal di ruang tamu. Tapi bapak kurang hati-hati dan pisaunya melukai telapak tangan bapak,”

Dea tersenyum mendengar perkataan bapak tersebut. Dipandanginya beberapa pohon cemara yang ada di halaman rumah. Tiba-tiba dirinya teringat dengan ruang tamunya yang belum ada pohon terang. Dea tersenyum sekali lagi. Terlintas dalam pikirannya untuk meminta sebatang pohon terang kepunyaan bapak itu.

“Pak, kalau bapak mengizinkan, saya mau meminta pohon cemara bapak. Saya mau memasangnya di rumah. Kami belum punya pohon Natal,” kata Dea. Hatinya berdebar-debar.

Bapak itu tertawa kecil. “Boleh, boleh, ambil saja. Silahkan kamu tebang sendiri cemara mana yang kamu senangi. Nanti kalau sopir bapak sudah pulang, bapak minta dia mengantarkan kalian dan pohon cemara itu ke rumah kalian,”

Dea tersenyum. “Terima kasih, pak,”

Bapak tersebut kemudian masuk ke dalam rumahnya. Ketika kembali ke teras, bapak tersebut membawa sebuah kotak persegi.

“Biar pohon Natalnya lebih indah, pakailah lampu ini,” katanya sambil menyerahkan kotak tersebut kepada Dea.

Dea tersenyum sekali lagi sambil menerima kotak tersebut. Hatinya terasa lebih tenang. Dalam hatinya dia berkata: ”Ibu, akhirnya kita punya cemara natal,” (Truly Okto Purba)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *