UKM Inovatif dari Desa Sugiharjo, Mendunia hingga Pasar Asean

UKM Inovatif dari Desa Sugiharjo, Mendunia hingga Pasar Asean
FITRIADI (kanan) dan istrinya yang merupakan pencetus dan pemilik Raja Patin, sebuah UKM kuliner yang memproduksi Kerupuk Kulit Ikan Patin. (FOTO: YOTAM TERKELIN LASE)

SEIRING kemajuan zaman, perkembangan industri kreatif di Indonesia menunjukkan perkembangan cukup menggembirakan. Berdasarkan perhitungan  Badan Ekonomi Kreatif  (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2016 besaran Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif mencapai angka Rp 922,58 triliun. Angka ini terus meningkat menjadi Rp 990,47 triliun dengan kontribusi sebesar 7,4 persen terhadap PDB nasional di tahun 2017. Sedangkan di tahun 2018, Bekraf memperkirakan besaran PDB diperkirakan sudah mencapai lebih dari 1.000 triliun.

Bekraf  juga mencatat pelaku ekonomi kreatif di tanah air kini terus tumbuh. Pada tahun 2013 jumlah pelaku usaha ekonomi kreatif sebanyak 5,82 juta usaha, tahun 2014 meningkat menjadi sebanyak 6,74 juta usaha. Angka ini terus pada tahun 2017, dimana jumlah pelaku usaha ekonomi kreatif diperkirakan sebanyak 8,2  juta usaha.

Pertumbuhan pelaku usaha ekonomi kreatif ini terjadi secara merata hampir di seluruh daerah di Indonesia. Jenis usahanya beragam yakni sub sektor periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, video/film/fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan, dan kuliner.

Salah satu sub sektor industri kreatif yang pertumbuhannya cukup pesat beberapa tahun terakhir adalah bidang kuliner. Dari sekitar 8,2 juta usaha industri kreatif, 68 persen diantaranya bergerak di industri kuliner. Lokasi usaha industri kuliner ini pun tidak hanya berada di daerah perkotaan, tetapi juga ke kampung-kampung (desa).

Meskipun berlokasi di desa, cukup banyak usaha kuliner yang berkembang dan berhasil menembus pasar internasional. Satu diantaranya adalah: Raja Patin, sebuah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi kerupuk kulit ikan Patin.

UKM Raja Patin berlokasi di Desa Sugiharjo, kecamatan Batang Kuis, kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Dari pusat kota Medan, Desa Sugiharjo berjarak sekitar 33 kilometer dari pusat kota Medan. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari Kantor Kecamatan Batang Kuis, luas wilayah Desa Sugiharjo adalah 1,53 km dengan jumlah 1.040 kepala keluarga (KK) dan penduduk sebanyak 4.644 jiwa. Mata pencaharian mayoritas warga Desa Sugiharojo adalah sebagai buruh pabrik. Selanjutnya sebagai petani, pedagang, PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI, dan nelayan.

Raja Patin adalah salah satu UKM sektor kuliner yang inovatif dan mampu bersaing di tengah ketatnya persaingan kuliner di Indonesia. Meskipun pusat kegiatannya berada di desa yang jauh dari pusat kota, tetapi lewat strategi yang inovatif dan kreatif, Raja Patin tampil sebagai UKM yang sukses.

Adalah Fitriadi (43 tahun) dan istrinya Tri Handayani (28) tahun yang merupakan pemilik UKM Raja Patin ini. Awalnya Fitriadi tak punya rencana untuk menekuni usaha kerupuk kulit ikan patin. Ceritanya bermula ketika perusahaan tempatnya bekerja melakukan PHK dan dirinya masuk dalam kelompok yang di PHK tersebut awal tahun 2016. Setelah berhenti bekerja, ia menggunakan sebangian uang pesangon untuk membangun 10 petak pembibitan ikan lele dan ikan patin di bagian belakang rumahnya yang saat ini ia tinggali. Fitriadi hanya fokus pada pembesaran ikan hingga berukuran 2 inci dan selanjutnya dijual ke pembeli.

Untuk makanan ternak ikannya, Fitriadi memberi pakan berupa campuran sisa produksi ikan patin yang tidak terpakai seperti bagian kepala, kulit, dan isi perut. Fitriadi mengambilnya dari pabrik olahan ikan patin di Kawasan Industri Medan (KIM). Suatu hari di pertengahan tahun 2016, seorang pembeli lele langganannya tertarik dengan limbah kulit ikan patin yang biasa digunakannya sebagai pakan. Si pembeli bermaksud menggunakannya sebagai pakan pembesaran lele miliknya. Fitriadi menyanggupi permintaan pembeli tersebut dan membeli 50 kilogram kulit ikan patin seharga Rp 300 ribu dari pabrik langganannya di KIM. Tetapi ternyata, si pembeli ikan langganannya membatalkan rencana menjadikan kulit ikan patin sebagai pakan pembesaran lelenya.

Fitriadi kecewa karena sudah mendahulukan uang  sebesar Rp 300 ribu. Dirinya bingung mau diapakan limbah kulit ikan patin tersebut. Sempat terpikir dalam benaknya untuk membuangnya, tetapi sang istri, Tri Handayani melarangnya. Fitriadi mengatakan, istrinya berniat mengolahnya menjadi makanan ringan. Karena sudah terlanjur kecewa, Fitriadi pun tak begitu tertarik menemani istrinya mengolah limbah kulit ikan patin tersebut. Dirinya memilih keluar rumah untuk mengantarkan ikan pesanan pembeli.

Saat Fitriadi mengantar pesanan ikan, di rumah, Tri Handayani mulai mengolah kulit ikan patin. Tri Handayani berselancar “cara mengolah makanan dari kulit ikan patin” di mesin pencari google. Akhirnya Tri menemukan jenis makanan ringan: kerupuk kulit ikan patin. Tri pun mengajak dua tetangganya untuk sama-sama mengolahnya. Meskipun Tri Handayani bekerja sebagai guru, tetapi punya kemampuan memasak yang cukup baik. Entah karena racikan bumbunya yang pas, maka saat kulit ikan patin digoreng, wanginya pun menyebar hingga ke sekitar rumah.

Fitriadi bercerita, karena mencium wangi kerupuk kulit ikan patin tersebut, tetangga-tetangga pun penasaran dan datang ke rumah untuk mencari tahu makanan apa yang sedang diolah Tri Handayani. Setelah tahu Tri Handayani mengolah kulit ikan patin menjadi kerupuk, tetangga pun membeli. Ternyata informasi kalau Tri Handayani membuat kerupuk kulit ikan patin menyebar ke tetangga lain hari itu juga. Menjelang sore hari, rumah Fitriadi dan Tri Handayani semakin ramai didatangi tetangga untuk membeli kerupuk kulit ikan patin. Akhirnya, tak sampai maghrib, kerupuk habis.

Kisah 50 kilogram limbah kulit ikan patin yang nyaris dibuang ini pun menjadi titik tolak kehidupan Fitriadi dan Tri Handayani selanjutnya. Melihat tetangga-tetangganya menyukai kerupuk kulit ikan patin olahannya, dirinya pun berpikir untuk menekuni usaha  kuliner kerupuk kulit ikan patin. Berbekal sisa pesangon Fitriadi ditambah gaji Tri Handayani sebagai guru, keduanya pun membeli peralatan pembuatan kerupuk dalam jumlah yang lebih banyak. Keduanya pun sepakat menamai usahanya Raja Patin dengan produk utama kerupuk kulit ikan patin.  

Sebagai ruang produksi untuk membersihkan kulit ikan patin, menggoreng dan membungkus kerupuk, Fitriadi memanfaatkan ruangan yang masih tersisa di bagian belakang rumah, atau berdekatan dengan kolam pembibitan ikannya. Tetapi enam bulan kemudian, atau setelah usahanya menunjukkan hasil yang baik, Fitriadi pun memutuskan untuk menghentikan usaha pembibitan ikan dan fokus mengembangkan Raja Patin.

Pemasaran Konvensional dan Online

DI  awal-awal berdiri, Raja Patin hanya menghabiskan 50-100 kg limbah kulit ikan patin setiap harinya. Untuk membantu dirinya, Fitriadi mempekerjakan dua tetangganya sebagai karyawan. Kulit ikan patin ini diperoleh dari dua pabrik langganannya di Kawasan Industri Medan (KIM). Dari 50-100 kg kulit patin ini, kerupuk yang dihasilkan sekitar 30-70 kg yang kemudian dibungkus dalam kemasan berbagai ukuran mulai dari ukuran 50 gram hingga 500 gram. Agar kemasan tampil menarik, Fitriadi pun mencetak label stiker untuk ditempel di kemasan.

Enam bulan pertama, Fitriadi gencar memasarkan produknya melalui pemasaran konvensional maupun online, Secara konvensional, Fitriadi memasarkan produknya dengan cara menitipkannya di warung-warung. Di tahap awal, kata Fitriadi, tak mudah untuk menjual kerupuk kulit ikan patin. Banyak warung yang menolaknya. Tetapi, Fitiriadi tak putus asa. Ditolak di warung yang satu, Fitriadi menitipkan kerupuk kulit ikan patin di warung yang lain.

Sadar kalau penjualan secara konvensional tidak begitu besar, Fitriadi pun mulai mencoba penjualan secara online. Dirinya membuka akun di berbagai situs jual beli seperti: Bukalapak, Tokopedia, OLX, dan Lazada. Selain itu, Fitiradi juga membangun website khusus: www.kulitpatin.com. Hasilnya? Penjualan mulai meningkat. Pesanan dari luar kabupaten Deliserdang pun mulai berdatangan. Selama berjualan online ini, Fitriadi mengaku mendapatkan banyak relasi yang rajin membeli produknya.

Naluri bisnis Fitriadi pun berputar. Dirinya kemudian mengajak relasi-relasinya tersebut untuk menjadi agen dan reseller. Artinya, konsep penjualan Raja Patin pun berubah. Dirinya tak lagi melakukan penjualan secara online. Dirinya hanya mengirim kerupuk kulit ikan patin ke agen dan reseller. Selanjutnya urusan penjualan menjadi tanggungjawab agen dan reseller. Termasuk pemasaran secara online dilakukan oleh agen dan reseller Dikatakan Fitriadi, dengan konsep pemasaran seperti ini, dirinya bisa lebih fokus mengembangkan Raja Patin di Deliserdang dan sekitarnya.

Setahun berjalan, Raja Patin semakin menunjukkan peningkatan yang baik. Agen-agen dan resellernya  sudah tersebar di beberapa daerah di Sumatera Utara, Aceh, Padang, Pekanbaru, Batam, Lampung, Bengkulu, Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Bali, Bogor, dan Yogyakarta. Di kota-kota ini, Raa Patin sudah punya minimal satu agen dan reseller lebih dari satu.

Bertambahnya daerah pemasaran secara otomatis menambah jumlah produksi Raja Patin. Jika sebelumnya Raja Patin hanya mengolah 50-100 kg kulit ikan patin, maka hingga pertengahan tahun 2018, Raja Patin sudah mengolah 200-300 kg kulit patin dan menghasilkan 80-150 kg kerupuk kulit ikan patin siap konsumsi. Jumlah ini pun bertambahlah lagi setahun kemudian atau hingga pertengahan tahun 2019 dimana Raja Patin sudah mengolah 400-600 kg kulit ikan patin. Dari bahan baku ini, kerupuk kulit ikan patin yang dihasilkan sebanyak 180-300 kg.

Kerupuk kulit ikan patin yang sudah diolah terdiri dari dua jenis yakni matang dan setengah matang. Kategori matang artinya kerupuk kulit patin dapat langsung dikonsumsi, sedangkan kategori setengah makan, kerupuk kulit ikan patin terlebih dahulu digoreng sebelum dikonsumsi.

Kategori matang terdiri dari varian premium dan reguler. Varian premium terdiri dari ukuran 50 gram (Rp 10 ribu), 70 gram (Rp 15 ribu), 100 gram (Rp 20 ribu), dan 170 gram (Rp 35 ribu). Varian reguler terdiri dari ukuran 50 gram (Rp 4.000), ukuran 80 gram (Rp 10 ribu), 250 gram (Rp 25 ribu) dan ukuran 500 gram (Rp 50 ribu). Sedangkan  kategori setengah matang terdiri dari ukuran 250 gram (Rp 25 ribu), ukuran 500 gram (Rp 50 ribu) dan ukuran 1.000 gram (Rp 100 ribu).

Buka Stand di Bandara dan Tembus Pasar Asean

MESKIPUN penjualan kerupuknya menunjukkan tren yang positif setelah setahun berjalan, Fitriadi tak berhenti. Dirinya terus berinovasi agar produknya semakin dikenal masyarakat luas. Pertengahn tahun 2018, dirinya bertemu dengan perwakilan Dinas Koperasi dan UKM Deliserdang yang selama ini ikut membina UKM Raja Patin. Pihak Dinas Koperasi dan UKM Deliserdang menawarkan Raja Patin untuk berjualan di Bandara Kualanamu. Raja Patin dijanjikan mendapat harga sewa yang murah karena Dinas Koperasi dan UKM Deliserdang menjalin kerjasama dengan PT Angkasa Pura II sebagai pengelola Bandara Kualanamu.

Fitriadi mengaku, semula dirinya tak langsung mengiyakan tawaran Dinas Koperasi dan UKM Deliserdang. Hal ini dikarenakan pengalaman teman-temannya sesama UKM di Deliserdang yang usahanya di Bandara Kualanamu akhirnya tutup karena pembeli yang tidak ramai, sementara harga sewa tergolong mahal.

Setelah berpikir selama seminggu, Fitriadi pun menerima tawaran dari Dinas Koperasi dan UKM Deliserdang tersebut. Untuk enam bulan pertama, Fitriadi hanya perlu membayar sewa Rp 6 juta per bulan untuk booth (stand) berukuran 2 x 2 meter. Padahal saat itu, harga sewa booth di Bandara Kualanamu sesuai dengan lokasi yang diambilnya sudah berkirar Rp 10 juta per bulan. Fitriadi mengatakan, saat menerima tawaran tersebut, dirinya hanya berpikir nekat saja. Dirinya pasrah kalau di kemudian hari produknya tak laku dan harus hengkang dari Bandara Kualanamu.

Tetapi lagi-lagi keberuntungan berpihak kepada Fitriadi. Resmi membuka stand sejak tanggal 1 Agustus 2018, kerupuk kulit ikan patin ternyata mendapat sambutan yang baik dari para pengunjung Bandara Kualanamu. Di hari pertama saja, Raja Patin berhail mencatat penjualan sebesar Rp 400 ribu. Fitriadi menduga, larisnya penjualan kerupuk kulit ikan patin dikarena selama setahun terakhir kerupuk kulit ikan patin memang sudah dikenal masyarakat. Dan ketika tahu Raja Patin buka stand di Bandara Kualanamu, pengunjung pun tidak terlalu kaget.

Di hari kedua dan hari berikutnya, penjualan kerupuk kulit ikan patin di Bandara Kualanamu terus menunjukkan peningkatan. Saat ini, kata Fitriadi, penjualan kerupuk kulit ikan patin di Bandara Kualanamu saja sudah mencapai Rp 2 juta per hari. Meskipun sudah membayar sewa stand Rp 10 juta per bulan, Fitriadi mengaku tidak keberatan, karena margin keuntungan yang ia peroleh sudah cukup besar.

Pencapaian Fitriadi tak hanya sampai di situ saja. Masih di tahun 2018, kerupuk kulit ikan patin berhasil menembus Singapura. Untuk penjualan ke Singapura, kata Fitriadi, dirinya masih menitip lewat koleganya di Jakarta yang juga mengirimkan produk makanan ke Singapura secara rutin.

Puncaknya di tahun 2019, giliran Malaysia yang di rambah Fitriadi. Berbeda dengan di Singapura, untuk penjualan di Malaysia, Fitriadi sudah memiliki partner bisnis resmi. Kerupuk kulit ikan patin cukup dikirim lewat PT Pos Indonesia. Khusus penjualan ke Malaysia, Fitriadi mengatakan dirinya sangat bangga karena transaksi dilakukan dengan mata uang Ringgit. Dengan begitu, Indonesia juga mendapatkan devisa dari transaksi dengan mata uang Ringgit tersebut.

FITRIADI dan Tri Handayani menunjukkan produk kerupuk kulit ikan patin yang siap untuk dipasarkan. (FOTO: YOTAM TERKELIN LASE)

Tiga Kunci Jadi Industri Kreatif Sukses

FITRIADI dan Tri Handayani mengaku, mereka tak menyangka kalau dalam tempo tiga tahun Raja Patin dengan produk kerupuk kulit ikan patin mampu mencapai kesuksesan lebih dari cukup. Di enam bulan pertama, kata Fitriadi, Raja Patin belum mendapat keuntungan, karena hasil penjualan digunakan untuk pembelian bahan baku, biaya karyawan, dan promosi. Barulah mulai bulan ketujuh hingga seterusnya, penjualan terus menunjukkan peningkatan.

Baik Fitriadi dan Tri Handayani menyebut, ada tiga kunci usaha yang mereka terapkan sehingga Raja Patin sukses menjadi industri kreatif di Sumatera Utara, meskipun berasal dari desa. Tiga kunci tersebut adalah kreatif menghasilkan produk, tidak pasif, dan konsisten.

Kreatif menghasilkan produk artinya pelaku UKM harus dapat menciptakan produk yang benar-benar khas dan seminim mungkin tidak punya pesaing. Kerupuk kulit ikan patin, kata Fitriadi memang ada di produksi di Pulau jawa, tetapi di Sumatera Utara dan Sumatera, belum ada UKM yang memproduksinya. Kondisi ini tentu saja menjadi peluang bagi Fitriadi untuk menghasilkan poduk yang khas, apalagi warga Sumatera Utara dikenal doyan makan atau suka kulineran. Sisi kreatif dalam hal ini juga dibutuhkan dalam hal menciptakan rasa yang khas. Dengan demikian, meskipun ada saingan, tapi sepanjang produk kita punya rasa yang khas, maka konsumen akan memilih produk kita. Kondisi ini, kata Fitriadi ada pada kerupuk kulit ikan patin hasil olahannya. Dengan rasa yang khas, kerupuk kulit patin dari Raja Patin menjadi pilihan konsumen, bahkan hingga ke Pulau Jawa. Padahal di Pulau Jawa ada juga UKM yang memproduksi produk yang sama.

Tidak pasif dalam hal ini artinya, produk harus dipromosikan ke masyarakat seaktif-aktinya. Misalnya ikut pameran yang diselenggarakan pihak swasta maupun pemerintah, membuka stand di tempat-tempat penjualan suvenir, atau membuka stand di bandara-bandara atau terminal bus. Promosi produk sebaiknya tak hanya dilakukan secara konvensional saja, tetapi juga secara online. UKM-UKM harus memanfaatkan media sosial yang berkembang sangat cepat untuk mempromosikan produknya.

Sedangkan konsisten diartikan bahwa induatri kreatif atau pelaku UKM harus konsisten dengan industri kreatif yang sedang dijalankan. Ketika saat ini memproduksi produk makanan A, maka seterusnya harus memproduksi produk makanan A, bukan sebaliknya berhenti memproduksi produk A karena tidak laku. Kata Fitriadi, keupuk kulit ikan patin mencapai kesuksesan karena mereka tetap konsisten untuk mengembangkannya, dan tidka berhenti walaupun selama enam bulan pertama penjualan masih pas-pasan.

Selama 2,5 tahun perjalanan Raja Patin, beragam  pencapaian positif telah dicapai Raja Patin, mulai dari peningkatan umlah produk yang terjual, daerah pemasaran (penjualan) yang terus bertambah di dalam negeri dan luar negeri, dan berhail membuka stand di Bandara Kualanamu. Seiring dengan pencapaian tersebut, jumlah karyawan Raja Patin pun naik berlipat-lipat dari semula hanya dua orang di pertengahan tahun 2016, menjadi 30 orang di pertangahan tahun 2019. Semua karyawan di Raja Patin mrupakan warga Desa Sugiharjo, khususnya dari kelompok ibu-ibu rumah tangga. Bukan itu saja, Raja Patin berhasil meraih Juara 1 tingkat Deliserdang UKM Wow! 2018 yang diselenggarakan Kementerian Koperasi dan UKM Indonesia dan International Council of Small Business (ICSB) tahun 2018 lalu.

Fitriadi dan Tri Handayani mengatakan, pihaknya bersyukur dengan pencapaian Raja Patin saat ini. Perjuangan mereka selama tiga tahun membuktikan bahwa sebagai industri kreatif, UKM yang berada di desa pun bisa sukses asalkan dikelola dengan kreatif dan inovatif.

Tak hanya menjadi berkah untuk keluarga, UKM juga menjadi berkah untuk orang banyak. UKM Raja Patin misalnya menjadi berkah untuk Desa Sugiharjo pada khususnya karena banyak warganya yang menggantungkan hidup di Raja Patin. Sedangkan bagi Sumatera Utara dan Indonesia, Raja Patin adalah aset daerah dan nasional yang mendunia hingga di pasar Asean. Dengan demikian, perekonomian Sumatera Utara dan Indonesia pun semakin kuat dan warganya pun semakin sejahtera. (Yotam Terkelin Lase/Mahasiswa FE Unika Santo Thomas Medan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *